Jakarta,
[bhayangkaranews.id] – Tercatat ada 168 kejadian bencana hidrometeorologi
berupa banjir dan tanah longsor sejak
awal tahun 2021 hingga hari ini yang terjadi dibeberapa lokasi seperti
Sumedang, Bojonegoro, Tuban, Manado, Aceh
Tamiang, Gayo, dan yang terbesar di
provinsi kalimantan selatan dengan dampak luas dan melumpuhkan aktivitas
sosial ekonomi di 11 kab/kota di provinsi ini. Hingga tanggal 21 Januari 2021, BNPB menyatakan akibat dari
bencana banjir dan longsor di provinsi Kalimantan selatan ada 21 orang meninggal dunia, 483.324 jiwa
terdampak bencana, dengan total kerusakan kerugian sebesar Rp. 1,127 Triliun.
Kejadiaan bencana di kalsel dan di daerah lainnya ini merupakan satu potret
fakta bencana hidrometeorologi yang terus berulang dan menghantui rakyat
Indonesia.
Pendapat banyak pihak
menyatakan bencana hidrometeorogis yang terjadi disebabkan oleh kegiatan
ekstraktif manusia yang terus mengurangi kemampuan terhadap daya dukung dan
daya tampung lingkungan, sehingga sesungguhnya bencana ini sebuah keadaan yang mampu untuk dicegah oleh
para pengurus negara melalui kebijakan ruang dan pembangunan yang berpihak pada
keselamatan sosial ekologi.
Namun faktanya hingga hari
ini apa yang digaungkan pemerintah tentang corrective action terutama dari sisi
tanggung jawab negara untuk upaya melindungi dan mencegah kerugian kerusakkan
dampak bencana masih menjadi hanya sekedar lipservice jika pun ada upaya namun
masih sangat lambat dan sangat normative.
Ach Rozani Manajer Tata
Ruang Dan GIS Walhi Nasional mengatakan “yang harus di pahami oleh pengelola
negara hari ini bahwa kejadian becana yang terus berulang dan diikuti dengan
kecenderungan kerugian kerusakkan yang terus membesar tentu tidak dapat
dilepaskan ini merupakan hasil dari produk Politik Ekologi Sosial yang telah
dibuat negara melalui instrument kebijakkan dan aturan yang masih proinvestasi
dan terus mengorbankan infrastruktur sosial ekologi yang ada, bahkan ini
diperparah lagi ada motif komodifikasi terhadap
bencana yang selama ini terjadi”.
Senada dengan itu Imam
Hanafi kepala divisi advokasi Jaringan kerja pemetaan partisipatif, mengatakan
“sesuai dengan tujuannya, keberadaan kebijakan satu peta (onemap policy) bisa
menjadi rujukan awal dalam pengelolaan ruang yang berwawasan lingkungan, selain
sebagai dasar bagi proses penyelesaian konflik ruang melalui proses
siskronisasinya. saat ini kebijakan satu peta yang sudah sampai pada tahap
singkronisasi IGT (Informasi Geospasial Tematik) dan menetapkan Peta Indikatif
Tumpang Tindih IGT (PITTI) yang ada di 17 provinsi (Riau, Sulawesi Selatan,
Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara,Bali, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua Barat) yang
dalam pelaksanaanya hanya sekedar untuk menfasilitasi kompromi tumpang tindih
sector IGT yang ada di Kementerian dan Lembaga. Tidak adanya Informasi
Geospasial dari masyarakat (Lokal/Adat)
tentang ruang sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam wujud Peta
Parisipatif dalam Kebijakan Satu Peta seperti hilangnya Walidata IGT Wilayah Adat, hal tersebut kemudian berdampak terhadap
tidak adanya nomenklatur “wilayah adat” dalam Kebijakan Satu Peta. Ketiadaan
peta partispatif yang dibuat oleh masyarakat (Lokal/Adat) menjadi entry point
timbulnya bencana ekologi dan social akibat lemahnya peran serta masyarakat
untuk terlibat dalam mengontrol ruang dan lingkungan sekitarnya, khususnya jika
berhadapan dengan klaim Negara atau perijinan.”
“Sehingga di tengah
kehendak public bagaimana upaya pencegahan dan pengurangan dampak negative
bencana yang lebih serius dalam kerangka kebijakkan negara yang tepat guna dan tepat tempat maka penting untuk pemerintah menyegerakkan
revisi perpres kebijakkan satu peta kedepan dan juga bersikap lebih terbuka dan
partisipatif terhadap data dan inisitif yang rakyat lakukan. Perlu diingat juga
penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan merupakan bagian Rencana Kerja
Prioritas Pemerintah yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024, khususnya dalam
lampiran 1 narasi RPJMN serta lampiran 4 arah pembangunan wilayah RPJMN” lanjut
ach rozani
Imam Hanafi menambahkan “
Perpres Kebijakan Satu Peta berikutnya harus dapat menjawab beberapa
permasalahan seperti mengakomodir data spasial masyarakat yang tertuang dalam
peta partisipatif serta mnegintegrasikanya dalam Kebijakan Satu Peta sehingga
dapat menjadi salah satu data rujukan dalam proses sinkronisasi spasial dalam
rangka penyelesaian konflik tumpang tindih ruang dan penegasan sratus ruang, Permaslahan
berikutnya adalah mengembalikan
keberadaan dan fungsi walidata bagi masyarakat adat bagi proses pengakuan,
perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat di Indonesia, hilangnya
nomenklatur Wilayah adat akan berpotensi mengancam keberadaan “wilayah adat”
sebagai entitas utuh dari masyarakat hukum adat dan yang terakhir yaitu
terbatasnya akses masyarakat untuk dapat mengakses Informasi Geospasial melaui
JIGN (Jaringan Informasi Geospasial Nasional),
hal ini kemudian berakibat pada ketidaktahuan publik tentang sejauh mana
IGT itu dikompilasi, di integerasi maupun di sinkronisasi dalam Kebjakkan Satu
Peta, kemudian kebijakan tersebut akan
berjalan tanpa pengawasan dari public”
Sehingga melalui siaran
pers ini kami menuntut dan mendesak pemerintah untuk:
Revisi Perpres No. 9 Tahun
2016, substansi dan targetnya harus mampu menerima produk geospasial yang
dibuat oleh rakyat.
Peta Partisipatif harus
menjadi dasar dalam melakukan proses verifikasi dalam tahapan sinkronisasi dan
penyelesaian tumpang tindih IGT yang dibuat oleh Wali Data (Kementerian dan
Lembaga) terhadap wilayah kelola masyarakat (adat/lokal).
Data dan Informasi atas
status peta HGU, HPL, HGB, Peta Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan dalam bentuk
IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, Peta Izin Usaha Pertambangan harus terbuka
sebagai pengawasan dan kontrol publik.
Perlunya adanya walidata
atas wilayah adat untuk melengkapi dan menegaskan keberadaan Hutan Adat dan Hak
Komunal (tanah ulayat).
Kompilasi, integerasi dan
sinkronisasikan peta masyarakat (masyarakat adat dan lokal) kedalam Kebijakan
Satu Peta sebagai salah satu data rujukan dalam melakukan proses verifikasi
status dan fungsi ruang lintas kementerian.
Dalam rangka mewujudkan partisipasi masyarakat terhadap Kebijakan Satu Peta, diperlukan adanya kejelasan mekanisme adopsi, verifikasi, registrasi dan penetapan serta standarisasi oleh walidata (NSPK). [047_C/Siaran Pers: WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA – JARINGAN KERJA PEMETAAN PARTISIPATIF]

0 Komentar